Para polisi di warung kopi yang kemarin dibom
Tulungagung - Polisi menengarai Riza, terduga teroris jaringan Poso yang tewas
tertembak saat digelarnya operasi penggerebekan di depan warung kopi,
Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung, Jawa Timur, sebagai calon "temanten"
yang dipersiapkan untuk melakukan bom bunuh diri.
"Kami
menduganya begitu. Riza ini merupakan calon temanten baru rekrutan Dayah
(bukan Dayat) yang datang belakangan di wilayah Tulungagung," ungkap
Kapolres Tulungagung, AKBP Whisnu Hermawan Februanto, Selasa (23/7/2013). Dayah sendiri menurut penjelasan Whisnu merupakan kader senior dalam jejaring teroris Poso.
Selain diidentifikasi sebagai perencana bom Poso, beberapa
waktu lalu, Dayah yang dikenal sebagai ahli peretas ("hacker") di dunia
cyber ini juga menjadi aktor dibalik pembobolan uang nasabah bank di
Medan senilai Rp800 juta.
Whisnu tidak menyinggung
keahlian Dayah dalam merangkai bom, namun ia mengisyaratkan pemuda yang
menyaru dengan penampilan rambut gimbal ini memiliki peran strategis
dalam penggalangan dana teroris.
Dayah yang beralamat
KTP dari Medan, Sumatera dan berumur sekitar 30-an tahun tersebut
ditengarai juga menjadi perekrut temanten baru, seperti juga halnya
Riza.
"Dia datang ke sini (Tulungagung) dalam rangka
mempersiapkan manten baru, tapi tujuannya dimana kami belum tahu,"
katanya.
Penjelasan Whisnu yang mengacu pada hasil
analisa dan evaluasi internal kepolisian di tingkat Polda Jatim tersebut
bisa jadi mendekati kebenaran, sebab identik dengan keterangan warga
yang sempat berinteraksi dekat dengan kedua terduga teroris di Desa
Penjor, Kecamatan Pagerwojo.
Suparti dan Siwoharini,
misalnya, dua adik kandung Sapari (terduga teroris jaringan lokal) ini
menyebut bahwa Dayah berperilaku aneh selama tiga hari menginap di
kampung mereka.
Kata Suparti, Dayah selalu menenteng tas
ransel kemanapun pergi, baik saat shalat tarawih di Masjid Al Jihad,
Dusun Krajan, Desa Penjor maupun saat makan sahur di Madratsah Aisyiyah,
tempat mereka menginap.
"Kami tidak pernah tahu itu
(tas ransel) isinya apa, yang pasti kemanapun dia pergi dan beraktivitas
selalu dibawa. Kalau sholat misalnya, tas ditaruh dipinggir tembok,
tidak pernah jauh," tutur Suparti.
Meski sempat bertanya-tanya dalam hati, Suparti dan warga lain tidak ada yang berani menegur.
Mereka baru mengetahui benda di dalam tas ransel tersebut
setelah Dayah dan Riza (Riza sudah tiga bulan beraktivitas dakwah di
Desa Penjor) ditembak mati oleh tim Densus 88 Antiteror, saat mereka
menunggui bus umum di pinggir trotoar Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung.
Dalam operasi penggerebekan itu, Dayah yang membawa tas ransel
berisi bom rakitan sempat lari berlindung di belakang Mimin, penjual
minuman kopi tak jauh dari tempat mereka semula berdiri menunggu bus.
Namun sial, tim Densus 88 Antiteror yang berjumlah sekitar
sepuluh orang sepertinya tidak mau ambil risiko dan menembak Dayah dari
jarak dekat karena terduga teroris jaringan Poso ini terus bergerak
sembari menggerayangi tas berisi bom rakitan yang dicangklongnya di
depan dada.
Selain menembak mati Dayah dan Riza, Densus
88 juga menangkap dua pria lainnya, Sapari (55) dan Mugi Hartanto (35).
Keduanya merupakan warga lokal berprofesi sebagai Kaur Kesra Desa Penjor
(Sapari) serta honorer guru agama di SD 3 Geger, Kecamatan Pagerwojo
(Mugi Hartanto).
Kedua pria yang disebut terakhir ini
masih menjalani pemeriksaan di Mabes Polri untuk mengetahui seberapa
jauh keterlibatan mereka dalam jaringan teroris tersebut.
Namun menurut pengakuan keluarga dan perangkat desa, Sapari dan Mugi
Hartanto bernasib sial karena tidak pernah tahu asal usul maupun latar
belakang tamu mereka selama berdakwah di Desa Penjor dan Gambiran.
Sumber : antaranewsjawatimur.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar